Teori Lokasi merupakan sebuah ilmu yang
menyelidiki tata ruang kegiatan ekonomi. Selain itu, Teori Lokasi juga dapat
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang lokasi secara geografis, serta
pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain. Tidak ada
sebuah teori tunggal yang bisa menetapkan di mana lokasi suatu kegiatan
produksi itu sebaiknya dipilih. Untuk menetapkan lokasi suatu industri (skala
besar) secara komprehensif diperlukan gabungan dari berbagai pengetahuan dan
disiplin. Berbagai faktor yang ikut dipertimbangkan dalam menentukan lokasi,
antara lain ketersediaan bahan baku, upah buruh, jaminan keamanan, fasilitas
penunjang, daya serap pasar lokal, dan aksesibilitas dari tempat produksi ke
wilayah pemasaran yang dituju (terutama aksesibilitas pemasaran ke luar
negeri), stabilitas politik suatu negara, dan kebijakan daerah (peraturan
daerah).
Alfred Weber (1907 – 1933), memiliki
teori yang menyebutkan bahwa lokasi industri sebaiknya diletakkan di
tempat yang memiliki biaya yang paling minimal. Menurut teori Weber pemilihan
lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan
bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan
tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat dimana total
biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat
keuntungan yang maksimum. Dalam menjelaskan keterkaitan biaya
transportasi dan bahan baku Weber menggunakan konsep segitiga lokasi atau
locational triangle untuk memperoleh lokasi optimum yang menunjukkan apakah
lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau pasar.
Menurut Weber, ada tiga faktor utama
yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu faktor tenaga kerja dan biaya
transportasi yang merupakan faktor regional yang bersifat umum serta faktor
deglomerasi/aglomerasi yang bersifat lokal dan khusus. Weber berbasis kepada
beberapa asumsi utama, antara lain:
- Lokasi bahan baku ada di tempat tertentu begitu pula dengan situasi dan ukuran tempat konsumsi, sehingga terdapat suatu persaingan sempurna
- Ada beberapa tempat pekerja yang bersifat tak mudah bergerak.
Dalam menyusun konsepnya, Weber
melakukan penyederhanaan dengan membayangkan adanya bentang lahan yang homogen
dan datar, serta mengesampingkan upah buruh dan jangkauan pasaran.
Dengan menggunakan ketiga asumsi di
atas, maka biaya transportasi akan tergantung dari dua hal, yaitu bobot barang
dan jarak pengangkutan. Apabila yang menjadi dasar penentu bukan bobot
melainkan volume, maka yang menentukan biaya pengangkutan adalah volume barang
dan jarak pengangkutan. Pada prinsipnya, yang harus diketahui adalah unit yang
merupakan hubungan fungsional dengan biaya serta jarak yang harus ditempuh
dalam pengangkutan itu (memiliki tarif sama). Di sini dapat diasumsikan bahwa
harga satuan angkutan sama, sehingga perbedaan biaya angkutan hanya disebabkan
oleh perbedaan berat benda yang diangkut dan jarak yang ditempuh.
Selain itu, Weber juga mengelompokkan
industri menjadi dua, yaitu industri yang weight losing (industri yang hasil
produksinya memiliki berat yang lebih ringan daripada bahan bakunya, misalnya
industri kertas. Industri ini memiliki indeks material <> 1). Dengan
indeks material > 1, maka biaya transportasi bahan baku menuju pabrik akan
lebih mahal apabila dibandingkan dengan biaya transportasi produk jadi menuju
pasaran (market). Oleh karena itu, lokasi pabrik seharusnya diletakkan di dekat
sumber bahan baku (resources oriented). Sebaliknya, bagi industri yang berjenis
weight gaining, maka lokasi industri lebih baik diletakkan di dekat pasar.
Penggunaan kedua prinsip untuk menentukan lokasi industri di atas akan
mengalami kesulitan apabila berat benda yang masuk ke dalam perhitungan tidak
jauh berbeda.
Pada intinya, lokasi akan optimal
apabila pabrik berada di sentral, karena biaya transportasi dari manapun akan
rendah. Biaya tersebut berkaitan dengan dua hal, yaitu transportasi bahan
mentah yang didatangkan dari luar serta transportasi hasil produksi yang menuju
ke pasaran.
Weber juga menjelaskan mengenai adanya
gelaja aglomerasi industri. Gejala aglomerasi merupakan pemusatan produksi di
lokasi tertentu. Pemusatan produksi ini dapat terjadi dalam satu perusahaan
atau dalam berbagai perusahaan yang mengusahakan berbagai produk. Gejala ini
menarik industri dari lokasi biaya angkutan minimum, karena membawakan berbagai
bentuk penghematan ekstern yang disebut Aglomeration Economies. Tentu
saja perpindahan ini akan mengakibatkan kenaikan biaya angkutan, sehingga
dilihat dari segi ini tidak lagi optimum. Oleh karena itu, industri tersebut
baru akan pindah bila penghematan yang dibawa oleh Aglomeration Economies
lebih besar daripada kenaikan biaya angkutan yang dibawakan kepindahan
tersebut.
Perkembangan suatu kawasan (region)
berasal dari satu titik, yaitu pusat kota yang dalam tahap selanjutya bersifat
menyebar. Setiap perkembangan yang terjadi pada suatu kawasan, terutama dalam
kaitannya dengan sektor industri, akan memberikan pengaruh yang cukup besar
dalam mendorong perkembangan sektor-sektor lainnya. Maka, dapat dikatakan pula
bahwa perkembangan suatu kawasan mempunyai dampak terhadap perkembangan kota
yang berada di sekitarnya.
Salah satu faktor yang juga
mempengaruhi perkembangan kawasan industri tersebut adalah terdapatnya sarana
transportasi yang memadai. Peranan sarana transportasi ini sangat penting bagi
suatu kawasan untuk menyediakan aksesibilitas bagi masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari akan barang dan jasa, serta untuk meningkatkan kehidupan
sosial ekonomi. Semakin kecil biaya transportasi antara lokasi bahan baku
menuju pabrik dan dari pabrik menuju pasaran (market), maka jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk mengangkut bahan baku maupun hasil produksi juga akan semakin
rendah.
Dengan memperhitungkan berat bahan baku
= w (S1) ton yang akan ditawarkan di pasar M, w (S1) dan w (S2) ton material
yang berasal dari masing-masing S1 dan S2 yang diperlukan, masalahnya berada
dalam mencari lokasi pabrik yang optimal P terletak di masing-masing jarak d
(M), d (S1) dan d (S2). Beberapa metodologi dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah seperti menggambarkan sebuah analogi ke dalam sistem bobot dan pulleys
(Varignon's solusi) atau menggunakan trigonometri. Cara lain yang biasanya
dipilih oleh para ahli geografi adalah dengan SIG.
Teori Lokasi Weber ini bisa menjelaskan
dengan sangat baik mengenai indutri berat mulai revolusi industri sampai dengan
pertengahan abad dua puluh. Bahwa kegiatan yang lebih banyak menggunakan bahan
baku cenderung untuk mencari lokasi dekat dengan lokasi bahan baku, seperti
pabrik alumunium lokasinya harus dekat lokasi tambang dan dekat dengan
sumber energi (listrik). Kegiatan yang menggunakan bahan baku yang mudah
ditemukan dimana saja seperti air, cenderung dekat dengan lokasi pasar. Untuk
menilai masalah ini, Weber mengembangkan material index yang diperoleh
dari berat input dibagi berat dari produk akhir (output). Jika material
indexnya lebih dari 1 maka lokasi cenderung kearah dekat dengan bahan baku,
jika kurang dari 1 maka penentuan lokasi industri cenderung mendekati
pasar.
Industri primer adalah Industri
yang menghasilkan barang-barang tanpa pengolahan lebih lanjut sehingga bentuk
dari bahan baku/mentah masih tampak.Contohnya : industri pengasinan ikan,
penggilingan padi, anyaman. Jadi industri primer ini aktivitasnya lebih
banyak menggunakan bahan baku, sehingga menurut teori webber lokasi
industrinya yang tepat adalah dekat dengan bahan baku.
Dan jika dihitung berdasarkan teori
material indexnya weber misal : industri pengasinan ikan, berat input (ikan
segar) lebih berat dari berat ikan asin jadi material idexnya lebih dari
1, maka menurut webber untuk menghemat biaya transportasi dan untuk
mendapatkan keuntungan maksimal maka lokasi industrinya yang tepat adalah yang
dekat dengan bahan baku.
0 comments:
Post a Comment